Untukmu Irwandi; Kami Muda Yang Menggugat

Dalam sebuah bilik kamar Muda di Kuala Pudeng. Yang disalah satu sisi temboknya terpasang selembar gambar poster usang dua gagah berpakaian Aceh, dengan nomor 6 dalam ukuran tampil lebih besar. Di atas ranjang, Muda membaca Koran Harian pagi yang berisi berita tentang Muda lainnya yang ditangkap aparat, karena bersuara akan perbaikan kesejahteraan dan keadilan yang diharap-harap oleh rakyat.
Mata Muda memerah saga. Menatap geram isi berita…
Lepas Muda membaca, tapi tak lepas geram dihatinya. Ditatap gambar poster usang dua gagah berpakaian Aceh, dengan nomor 6 dalam ukuran tampil lebih besar. Muda melepas gambar poster usang dua gagah berpakaian Aceh, dengan nomor 6 dalam ukuran tampil lebih besar dari tempatnya. Muda membaca kata SINAR. Muda membaca tulisan Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar. Dibaca berulang dua nama itu. Kemudian, berbisik Muda dalam hati:
“baroe udeep beusare matee beusajan, sikrek kaphan saboh keureunda. Jinoe saboh timphan hanjeut plah dua…”
Sebuah foto tua bergambar seorang gagah berkumis setengah baya ditatap Muda dalam. Foto tua sang Ayah Muda yang gugur dalam rimba pertempuran. Bergegas Muda remas gambar poster usang dua gagah berpakaian Aceh, dengan nomor 6 dalam ukuran tampil lebih besar. Digenggam gambar itu. Muda menuju dapur berbelok ke sumur. Dicampakkan gambar poster usang dua gagah berpakaian Aceh, dengan nomor 6 dalam ukuran tampil lebih besar sembarang disitu. Gambar poster usang dua gagah berpakaian Aceh, dengan nomor 6 dalam ukuran tampil lebih besar yang akhirnya menjadi alas kotoran pagi kucing piaraan. Lepas geram Muda dalam raga, berganti jiwa merdeka yang dirasakannya.
***
Muda santai duduk bersandar di halte tengah kota. Dengan baju lusuh. Celana kumal yang menguning di sisi paha, robek di lutut. Sepatu kumal berdebu berhias juntai benang. Muda memungut selebaran dari Koran harian tentang sosialisasi Qanun Kesehatan yang tercecer. Ada gambar Gubernur disitu. Muda geram menggerutu. “Cuma Qanun omong kosong produk wakil rakyat kapitalis”. “Orang miskin dilarang sakit!”
“Gedung rumah sakit dibangun megah dari bantuan asing. Tapi yang menikmati tetap saja mereka yang punya uang. Yang orang kecil, tidak punya uang, mesti antri dapat giliran. Atau menunggu mati ditengah antrian. Yang katanya jaminan kesehatan cuma omong kosong janji politisi atau birokrat tolol yang coba tarik simpati.”
“Dan si Gubernur ini lebih tidak tahu diri. Orang tua yang disebut Wali saja berobat di kota waktu sakit. Tapi si Gubernur malah berobat ke luar negeri. Dan itu berkali-kali. Pakai uang rakyat. Emank dasar Gubernur gak ada otak! Jadi apa guna dibagun rumah sakit besar disini? Kalau Gubernur dan orang berduit lain tetap berobat ke luar negeri…?”
Muda menarik rambutnya yang kaku meninggi ke atas. Menepuk kawan yang sedang memeluk gitar. “Aku dan kau adalah orang yang anti kemapanan. Gubernur kayak gini harus kita lawan. Maen pakek uang rakyat aja untuk kesenangan pribadi dan bermewah-mewah. Taik kucing lahh!”.
Muda mengenang suatu sore di jalan kota. Ketika iringan mobil Jeep mewah melintas cepat dijalanan. Melewati para pengemis di tiap simpang. Memaksa yang lain menyingkir. Melewati pengangguran yang berjalan di trotoar. Memaksa yang lain minggir. Menyemprotkan debu kepada para tukang becak. Terus memaksa yang lain untuk tetap kasih jalan tanpa berhak bilang: “mobilmu dan jalan ini dibangun dengan uang rakyat bapak Gubernur…!”
Muda berkata lagi: “Sekarang bukan zaman nya lagi ikut Gandhi melakukan perlawanan tanpa kekerasan dan membiarkan rakyat India dipukuli bertubi untuk mengusir penjajah Kolonial Inggris. Sekarang juga bukan zaman nya lagi kita ikut gaya Jhon Lennon menyerukan damai dengan tiduran diranjang dan memanjangkan rambut untuk menentang kebijakan perang Vietnam”.
Sekarang kita harus menggunakan jalan radikal untuk melawan. Anarki adalah pilihan. Kawan…tolong kau mainkan lagu ‘Bongkar’. 3 tahun Gubernur ini pegang kuasa tidak ada perubahan apa-apa. Semuanya omong kosong. Maka kita harus bakar! Mainkan lagu ‘Bongkar’ kawan. Karena di jalanan kita sandarkan cita-cita.
***
Duduk kaku dikursi ditemani secangkir kopi. Muda larut menatap layar monitor laptop. Tak sadar Muda kalau malam juga semakin larut. Muda lupakan secangkir kopi yang mulai mendingin. Muda menatap serius bacaannya di layar monitor. Muda gelisah bukan main. Folder file kliping media di baca lagi satu persatu-satu. Berita headline tentang isu pemerintahan menjadi fokus perhatiannya.
Diawal pemerintahan gagasan dan program gencar diluncurkan. Kepedulian terhadap rakyat kecil dipertunjukkan. Ke-ekslusifan ditinggalkan. Di awal, Irwandi bilang kalau Innova saja sudah cukup. Tapi nyatanya sekarang nyetir Jeep mewah. Di awal, Irwandi bikin feet and proper test untuk menyeleksi Kepala Dinas. Tapi daya serap APBA terus menurun. Di awal, Irwandi nyetir mobil sendiri, ngebut. Walau sakit tetap nyetir mobil sendiri, sambil pasang infus untuk bilang kalau lagi sakit. Di awal, Irwandi sahur dirumah Nek Aisyah. Tapi ternyata itu cuma di awal. Nek Aisyah cuma jadi bagian “sensasi” Irwandi.
Muda makin gelisah. Kerabat yang korup dilindungi oleh Irwandi. Irwandi lebih sering ke luar negeri daripada melihat rakyat di daerah sendiri. Walau terus menerus dikritik. Irwandi tidak juga bikin evaluasi. Irwandi tidak peduli. Serapan anggaran lemah, Irwandi cari alasan pengesahan telat. Kalau pengesahan tepat waktu, bikin alasan lain kalau kontraktor belum ambil amprahan. Dunia ini memang penuh pabrik alasan. Dimana sekarang Kredit Peumakmu Nanggroe? So nyang ka makmu jinoe…??? Irwandi atawa rakyat Aceh?
200 Ha Hutan Aceh per tahun hilang. Tapi Irwandi masih gagah bicara Aceh Green di luar negeri. Jualan hutan Aceh subur kepada asing, untuk kemudian dapat untung sendiri. Muda gelisah rumah hak korban konflik terabaikan. Pembangunan SDM dan lapangan kerja terabaikan. Pembangunan sarana pendidikan yang baik dan berpihak kepada rakyat terabaikan. Penegakan syariat Islam terabaikan. Perhatian kepada petani, nelayan, dan guru terabaikan. Perencanaan ekonomi yang mensejahterakan rakyat terabaikan. Dan yang tidak pernah terabaikan dan itu diakui sendiri oleh Irwandi adalah perempuan cantik, jalan-jalan ke luar negeri dan mengendarai mobil mewah.
Muda mengakhiri gelisah dengan lelah. Lelah akan macet nya pembangunan dan peningkatan kesejahteraan. Lelah akan keadilan yang tidak juga kunjung datang. Lelah dengan pemimpin pemerintahan yang mempertontonkan kezaliman dan penindasan dengan bangganya. Kelelahan Muda dijawab dengan: “sudah cukup!”. Sambil mencopot kacamata, Muda berteriak, “ganti pemerintahan…!!!”
***
Muda yang ini sedang membaca sebuah buku bersampul merah. Dengan judul yang ditulis dengan warna hitam. Berisi perintah untuk menggusur kaum tua yang konservatif, korup dan feodal. Dan menggantikan nya dengan gerakan muda yang diisi oleh orang muda yang cerdas, berani dan progresif. Jemari Muda terus membolak-balikkan halaman demi halaman buku. Jemari yang tampak legam karena sering disengat matahari. Dahi Muda mengkerut membaca beberapa kalimat yang ada dibuku. Dahi yang sering terbakar dan dicium debu jalanan.
Kepala Muda terasa berat oleh jejalan kalimat-kalimat yang ada dibuku. Ruangan kosong terasa penuh oleh orang-orang yang Muda kagumi. Orang-orang yang lebih dulu memimpin. Orang-orang yang merasakan penderitaan sepanjang hidupnya. Orang-orang yang dibuang karena sangat ditakuti. Orang-orang yang ditahan tapi semangatnya mampu menembus tembok penjara dan membangkitkan semangat perlawanan. Orang-orang yang akhirnya mati dibunuh, tapi jiwanya tetap hidup disetiap sanubari para pejuang. Dan mereka adalah orang-orang Muda.
Muda tak tahan untuk melanjutkan membaca. Terlintas dibenaknya bagaimana orang Muda disekitarnya telah mati jiwa dan rasa. Orang Muda yang kemudian hidup oleh cita-cita masa lalu dan tidak memiliki cita-cita sendiri. Telah dikubur keberanian dan semangatnya oleh ketakutan akan kelaparan dan penderitaan. Orang-orang Muda yang tidak lagi memiliki arti untuk manusia lain.
Muda menutup buku dengan sebuah hentakan. Dirasakan kekecewaan akan bobroknya pemerintahan. Apa yang menjadi cita-cita ternyata harus kandas di ban mobil mewah dan terbentur meja negosiasi kepentingan elit. Muda hampir merasakan mati. Sebelum harapannya menghidupkannya kembali. Bahwa waktu belum menjauh. Jadi belum ada kata terlambat.
Muda mengenang…Bagaimana gaduhnya jalanan yang dilalui ribuan tapak kaki. Bagaimana riuhnya teriakan ‘hidup rakyat Aceh’ menggema. Bagaimana napas perjuangan masih cukup untuk menghidupkan keyakinan rakyat Aceh yang hampir musnah harapan nya karena konflik dan tsunami. Itu adalah kenangan Muda yang berjuang bersama ratusan ribu Muda lainnya untuk melahirkan Undang-Undang Pemerintahan Aceh yang sesuai dengan MoU Helsinky dan cita-cita rakyat Aceh. Muda bergumam dalam perih, “meloloskan calon independen dalam pemilihan kepala daerah Aceh, ada keringatku disitu”.
Dan gumam Muda terus berlanjut. Dalam kenangan Muda yang makin legam kulitnya. Makin habis suaranya. Tapi Muda membawa kenangannya dengan penuh kecewa. Harapan yang dititipkan 3 tahun lalu berbuah pahit. “Irwandi dan Nazar adalah sebuah kesalahan…!!!”
Muda merasa harus menghentikan segalanya. Karena Muda terpaksa merasa berdosa atas kerakusan dan keserakahan penguasa. Mereka adalah orang-orang yang sudah lupa dengan nilai-nilai perjuangan. Dan hukuman bagi orang-orang yang lupa dengan nilai perjuangan dan orang-orang yang dulu bersama dalam perjuangan adalah mati sebagai pecundang, bukan sebagai pejuang.
Muda berdiri. Menatap sebuah foto yang terpasang diruangan itu. Di depan foto Panglima Tertinggi As-Syahid Tgk. Abdullah Syafii, Muda bersumpah….”aku akan melanjutkan perjuangan untuk Aceh merdeka. Merdeka dari kemiskinan, merdeka dari kebodohan, merdeka dari penindasan dan merdeka dari ketidakadilan.”
“Aku akan berjuang sebaik-baiknya. Sehormat-hormatnya. Dalam keyakinan kami, dimanapun tirani harus tumbang!”
***
Suara ini akan sampai kepadamu Irwandi. Yang akan diantar oleh seorang yang berpura-pura loyal. Menghampirimu sambil membungkuk. Sedang kau duduk di meja makan seperti tuan tanah zaman kolonial. Suara ini akan menjadikan sarapanmu jadi tak enak. Lantas kau marah dan arogan seperti biasa. Tapi aku tidak takut. Karena aku Muda.

0 komentar: